COVID-19, Apakah Industri Sepakbola Menjadi Merakyat?

Di masa pandemi COVID-19 yang hingga saat ini belum ditemukan anti-virusnya, sektor ekonomi mulai anjlok. Semua negara mengalihkan pendanaannya untuk memberi stimulan ekonomi untuk darurat COVID-19, khususnya memberikan bantuan berupa paket sembako dan uang tunai untuk rakyat miskin di negara tersebut. Juga pelonggaran bayar cicilan kredit, pemberian kuota internet gratis guna mendukung program #stayathome juga #workfromhome akibat wabah COVID-19 ini diharapkan mendukung physical distancing agar COVID-19 tidak meluas di negaranya.

Kebijakan tersebut membuat sektor industri entah pariwisata, telekomunikasi, transportasi dll harus merugi besar. Ini juga membuat klub sepakbola yang memiliki sponsor di sektor tersebut juga kena dampak krisis ekonomi klub. Kini klub sepakbola tidak ada penghasilan seperti biasa dari penjualan tiket. Omzet dari merchandise klub juga turun akibat penundaan pertandingan liga sepakbola. Akibatnya industri sepakbola kini mati suri kondisinya.

Sebenarnya, dibalik itu ada hal yang menarik. Sejak mulainya akuisisi Chelsea era Roman Abramovich (taipan Rusia) sepakbola langsung berubah menjadi industri kapitalis. Ya, karena terjadinya di Eropa yang menganut paham kapitalis. Dasar ekonomi kapitalis adalah kekuatan modal. Siapa yang banyak uang dia menang. Representasinya adalah kepemilikan saham. Saham menjadi raw model capitalism economy system. Semakin besar kepemilikan saham, maka Anda menjadi penentu kebijakan. Ini berlaku di klub sepakbola. Prinsip ekonomi kapitalis yang harus dipegang adalah jangan ada resesi, ekonomi harus tumbuh tanpa batas.

Trading stocks and money stock photo. Image of calculator - 46592394

Tambah lagi, megatransfer Neymar ke Paris Saint-Germain dari Barcelona senilai 222 juta euro. Belum lagi sistem bonus di Liga Champions. Skor imbang saja di setiap pertandingan bisa dapat uang. Apalagi menang, terus juara. Makin banyak uang yang diterima klub. Dampaknya, harga pemain bisa menggila di bursa transfer. Karena dianggap mampu secara keuangan. Terakhir Liverpool dapat 108 juta euro pasca juara Liga Champions 2019 lalu. Maka selama hampir 20 tahun terakhir ini kita disuguhkan sepakbola berorientasi industri kapitalis. 

FIFA meluncurkan program Financial Fair Play guna menyehatkan keuangan klub dan mencegah manipulasi laporan keuangan akibat praktek kapitalisme industri sepakbola yang membuat harga pemain di bursa transfer menjadi tidak sehat. Hasilnya cukup efektif, klub bisa meminimalisir kerugian tak lebih dari 20%. Pertanyaannya adalah, kebijakan ini berlaku tidak untuk kondisi pandemi COVID-19? Dimana klub sudah cukup banyak rugi, bahkan menurut Barnard Caiazzo (presiden asosiasi klub Ligue 1 Perancis), kalau pemerintah Perancis tidak bantu dana, separuh dari total klub sepakbola Perancis akan bangkrut dalam 6 bulan. 

Inilah risiko sistem kapitalis industri sepakbola yang tidak perlu andalkan keuangan pemerintah. Memang menjadi profesional klub sepakbolanya dengan tata kelola mandiri dari segi infrastruktur. Tapi scout talent juga menjadi terlupakan karena klub akan lebih memilih beli pemain berkualitas dengan tawaran mahal demi prestasi instan tanpa melihat proses dan sejarah klub. Akibatnya ada gap besar antara klub kaya dan miskin sehingga lambat laun persaingan juara liga menjadi kurang menarik. Tambah lagi, harga tiket pertandingan menjadi mahal sehingga sepakbola hanya milik orang borjuis saja.

How to become a Football Scout

Analisa diatas mungkin didukung pendapat Carlo Ancelotti (pelatih Everton). Menurut Don Carlo, pasca pandemi COVID-19, klub akan berhati-hati dalam pemberian gaji pemain dan pelatih klub sepakbola. Karena klub rugi besar maka harga tiket pertandingan bisa menjadi lebih murah, dan tidak serampangan dalam bursa transfer. Jadi bisa saja klub sepakbola bisa eksis tanpa perlu ikut dalam sistem industri kapitalis. Lebih tepatnya bakal menjadi industri sosialis yang lebih merakyat dan menikmati proses. Sehingga football scout talent berjalan dengan baik. Marwah sepakbola sebagai hiburan rakyat akan terus terjaga, persaingan antar-klub menjadi sehat dan yang terpenting, praktek pengaturan skor dan korupsi keuangan klub bisa hilang selamanya. Semoga demikian.

Sumber:

Comments

Popular posts from this blog

Pemahaman Gizi (3): Perhatian Pemerintah, Federasi dan Klub

Pengaturan Skor (2): Supremasi Hukum dan Peran Media

Maradona dan Inspirasi