Menilik Potensi Bisnis Klub Sepakbola Indonesia (2)
Lanjutan dari blog sebelumnya, kali ini akan dibahas faktor no 3-5 mengenai fanatisme suporter, dukungan pemerintah dan masalah pengaturan skor.
Fanatisme suporter di Indonesia baik tingkat klub maupun timnas tak perlu diragukan. Harta, jabatan bahkan nyawa pun dikorbankan untuk menyaksikan laga klub kesayangannya maupun sekedar memberi atribut. Di tingkat timnas juga demikian. Kehadiran suporter sendiri memberikan manfaat:
Fanatisme ini membuat Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar bisnis sepakbola yang menggiurkan di dunia. Sungguh seksi memang bisnis sepakbola di Indonesia.
- Membantu meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum yang berarti membantu kontribusi menaikkan pendapatan usaha transportasi umum
- Mendukung klub kesayangannya
- Terbukanya lapangan kerja baru (usaha merchandise, pedagang, dan profesi pendukung seperti pengacara akuntan dll)
- Meningkatkan pendapatan daerah dari pajak (bisa dari pajak penghasilan pemain pelatih, pajak bumi bangunan, pajak penjualan dari transfer pemain, pajak hak siar dll)
Fanatisme ini membuat Indonesia menjadi salah satu pangsa pasar bisnis sepakbola yang menggiurkan di dunia. Sungguh seksi memang bisnis sepakbola di Indonesia.
Namun dibalik pangsa pasar yang menggiurkan itu ternyata menyimpan masalah. Yaitu fanatisme berlebihan suporter (khususnya tingkat klub) yang berujung pada aksi kekerasan, kerusuhan bahkan pembunuhan antar suporter. Akibatnya infrastruktur sepakbola yang ada menjadi rusak.
Kalau ditelisik lebih jauh terjadinya kekerasan dan kerusuhan suporter pun juga ada "peran" PSSI yang tidak tegas memberi hukuman pada suporter yang terlibat kekerasan. Minuman keras, narkoba, perjudian dan keberpihakan wasit pada salah satu klub semakin "menambah" peran tersebut. Maka tak heran kalau selanjutnya ada potensi suporter berbuat ulah. Salah satu hal menonjol fanatisme suporter yang berlebihan adalah kebanggaan mendukung klub daerah atas nama harga diri daerah. Lihat saja pada saat pertandingan "panas" seperti Persija vs Persib maupun Persebaya vs Arema (El Clasico Jatim) selalu ada chant rasis bahkan saling baku hantam hingga diluar lapangan. Ini membuat investor klub sepakbola pikir ulang jika ingin berinvestasi di klub yang punya sejarah permusuhan antar suporter yang kuat meskipun saat ini sudah tidak ada pembunuhan antar suporter dan saling persekusi diluar lapangan (tetap masih ada perang medsos).
Pemerintah daerah (Pemda) juga ikut berperan dalam mengembangkan bisnis sepakbola di daerahnya melalui PON maupun PORDA. Sayangnya pemerintah daerah juga ikut ambil kesempatan untuk menjadikan sepakbola sebagai komoditas politik. Seharusnya urusan olahraga tidak boleh diikutkan dalam politik yang berakibat saling sandera kepentingan siapa yang berhak urus sepakbola. Semisal Pemda bangun infrastruktur sepakbola dan dinikmati oleh investor, bagaimana porsi keuntungannya? Kalau Pemda menuntut keuntungan tinggi dan hak kuasa dari penggunaan fasilitas maka ya investor klub sepakbola akan ogah berinvestasi di klub daerah itu.
Belum lama ini kita mendengar adanya berita pengaturan skor liga Indonesia, piala AFF 2010 dll. Kasus pengaturan skor sendiri pernah beredar di Italia (calciopoli 2006), bahkan liga Thailand, Malaysia dan Vietnam pernah membongkar kasus itu. Ya, pengaturan skor terjadi akibat adanya mafia judi bola yang bermain dengan pengurus klub. Klub merogoh uang yang bisa saja dari keuangan klub untuk dipakai bermain dengan bandar judi bola untuk mengatur timnya agar kalah atau menang dengan skor yang sudah ditentukan. Tentu saja permainannya juga melibatkan wasit. Bukan rahasia kalau wasit di Indonesia digaji tidak semestinya. Karena itu wasit juga ikut terlibat dengan diberi sogokan dari mafia bola agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Maka kompetisi jadi tidak sehat, potensi kerusuhan sangat besar dan investor tentu saja dengan tegas "OGAH" berinvestasi.
Kalau mau memaksimalkan potensi bisnis klub sepakbola di Indonesia ada beberapa langkah yang perlu dilakukan (menurut pendapat saya), diantaranya:
Kalau ditelisik lebih jauh terjadinya kekerasan dan kerusuhan suporter pun juga ada "peran" PSSI yang tidak tegas memberi hukuman pada suporter yang terlibat kekerasan. Minuman keras, narkoba, perjudian dan keberpihakan wasit pada salah satu klub semakin "menambah" peran tersebut. Maka tak heran kalau selanjutnya ada potensi suporter berbuat ulah. Salah satu hal menonjol fanatisme suporter yang berlebihan adalah kebanggaan mendukung klub daerah atas nama harga diri daerah. Lihat saja pada saat pertandingan "panas" seperti Persija vs Persib maupun Persebaya vs Arema (El Clasico Jatim) selalu ada chant rasis bahkan saling baku hantam hingga diluar lapangan. Ini membuat investor klub sepakbola pikir ulang jika ingin berinvestasi di klub yang punya sejarah permusuhan antar suporter yang kuat meskipun saat ini sudah tidak ada pembunuhan antar suporter dan saling persekusi diluar lapangan (tetap masih ada perang medsos).
Pemerintah daerah (Pemda) juga ikut berperan dalam mengembangkan bisnis sepakbola di daerahnya melalui PON maupun PORDA. Sayangnya pemerintah daerah juga ikut ambil kesempatan untuk menjadikan sepakbola sebagai komoditas politik. Seharusnya urusan olahraga tidak boleh diikutkan dalam politik yang berakibat saling sandera kepentingan siapa yang berhak urus sepakbola. Semisal Pemda bangun infrastruktur sepakbola dan dinikmati oleh investor, bagaimana porsi keuntungannya? Kalau Pemda menuntut keuntungan tinggi dan hak kuasa dari penggunaan fasilitas maka ya investor klub sepakbola akan ogah berinvestasi di klub daerah itu.
Belum lama ini kita mendengar adanya berita pengaturan skor liga Indonesia, piala AFF 2010 dll. Kasus pengaturan skor sendiri pernah beredar di Italia (calciopoli 2006), bahkan liga Thailand, Malaysia dan Vietnam pernah membongkar kasus itu. Ya, pengaturan skor terjadi akibat adanya mafia judi bola yang bermain dengan pengurus klub. Klub merogoh uang yang bisa saja dari keuangan klub untuk dipakai bermain dengan bandar judi bola untuk mengatur timnya agar kalah atau menang dengan skor yang sudah ditentukan. Tentu saja permainannya juga melibatkan wasit. Bukan rahasia kalau wasit di Indonesia digaji tidak semestinya. Karena itu wasit juga ikut terlibat dengan diberi sogokan dari mafia bola agar bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Maka kompetisi jadi tidak sehat, potensi kerusuhan sangat besar dan investor tentu saja dengan tegas "OGAH" berinvestasi.
Kalau mau memaksimalkan potensi bisnis klub sepakbola di Indonesia ada beberapa langkah yang perlu dilakukan (menurut pendapat saya), diantaranya:
- Pemerintah daerah harus TULUS membantu klub dalam urusan infrastruktur sepakbola untuk kepentingan klub daerahnya tanpa embel-embel kepentingan POLITIK
- Kepengurusan PSSI dari tingkat pusat hingga tingkat daerah WAJIB diisi oleh orang-orang yang SERIUS dan TULUS membenahi sepakbola serta orang tersebut paham akan dunia sepakbola secara MENYELURUH tanpa kepentingan POLITIK
- Penegakan aturan yang TEGAS tanpa pandang bulu pada klub yang tidak profesional serta suporter yang terlibat kerusuhan maupun rasisme
- Klub harus PROFESIONAL mengikuti verifikasi yang ditentukan FIFA dari segi infrastruktur, keuangan yang sehat (ikut aturan Financial Fair Play), asas keterbukaan kondisi operasional klub, memiliki akademi pembinaan
- Memberantas praktik pengaturan skor yang marak di dunia sepakbola
- Penjadwalan liga yang betul-betul rapi dan teratur
- Memberantas praktik kriminalitas pekat (penyakit masyarakat) berupa perjudian, minuman keras, narkoba untuk mencegah kemungkinan kerusuhan suporter di luar lapangan dan fanatisme suporter klub yang berlebihan
Ini sebagian dari pendapat saya mengenai potensi bisnis klub sepakbola Indonesia. Harapannya semoga sepakbola Indonesia semakin maju, profesional dan bisa masuk Piala Dunia. aamiin....
SALAM SEPAKBOLA!
Comments
Post a Comment