Pengaturan Skor (1): Klub dan Federasi
Di Indonesia dahulu ada kasus "sepakbola gajah" antara PSS Sleman dan PSIS Semarang. Pada pertandingan yang digelar di Lapangan Sasana Krida AAU dekat Bandara Adisucipto itu, tepatnya 26 Oktober 2014. Hasil pertandingan yang dimenangkan PSS atas PSIS dengan skor 3-2 itu, semuanya lewat gol bunuh diri. Belakangan terungkap, kedua tim tidak mau menang agar terhindar dari Borneo FC di semifinal Divisi Utama Liga Indonesia. Dan menariknya, setiap lawan Borneo selalu kena hukuman penalti dan Borneo "dijamin" lolos ke fase berikutnya (Liga Super). Juga masih terngiang skandal final AFF 2010 antara timnas Indonesia vs Malaysia.
Masalah pengaturan skor di Indonesia juga belum berakhir, kala acara Mata Najwa di tahun 2018 lalu mengungkap praktik pengaturan skor di berbagai klub. Belum tuduhan Rochy Putiray bahwa Liga 1 Indonesia sudah diatur. Dimana tahun 2018, Rochy bertaruh Persija Jakarta "diatur" juara Liga 1 2018. Imbasnya, Joko Driyono, Waketum PSSI dan juga terlibat dalam pengurus Persija dihukum penjara 1,5 tahun karena terbukti "terlibat" pengaturan pertandingan dan perusakan barang bukti.
Kalau di Italia kasus pengaturan skor disana terkenal dengan skandal calciopoli. Dimana Juventus menjadi "pesakitan" utama. Dihukum degradasi ke Serie B dan 2 musim dicabut gelar juaranya untuk "diserahkan" ke Inter Milan plus minus 9 poin. Lazio, AC Milan, Fiorentina juga kena hukuman pengurangan poin di Serie A. Bahkan Fiorentina dilarang tampil di Liga Champions. Reggina lebih ringan, pengurus klub dihukum 2,5 tahun dilarang terlibat aktivitas sepakbola dan hukuman denda, tanpa pengurangan poin. Luciano Moggi, "sutradara" pengaturan skor dihukum seumur hidup tak boleh terlibat aktivitas sepakbola.
Jika dirunut awal, masalah pengaturan skor apabila ditinjau dari tingkat olahraga, maka yang harus "bertanggung jawab" adalah klub dan federasi. Di Indonesia, dua unsur itu terpenuhi. Pertama, klub Indonesia mayoritas "tidak profesional" dalam arti manajemen klub. Terbukti banyak klub Indonesia sering menunggak gaji pemain karena bisa kurangnya sponsor ataupun pemasukan dari pertandingannya rendah. Bisa juga karena manajemen klubnya "korupsi". Korelasi prestasi dan keuangan klub di Indonesia berbanding lurus. Artinya makin berprestasi klub makin banyak uang yang didapat klub. Sehingga gaji pemain bisa lancar. Kalau tidak lancar, maka disitulah "pintu masuk" mafia bola untuk melakukan pengaturan pertandingan dengan iming-iming bonus kepada pemain yang jumlahnya melebihi gaji pemain.
Kedua, masalah federasi. Bukan rahasia lagi federasi PSSI belum profesional dalam mengurus sepakbola Indonesia karena banyak "intrik" politik. Pengurusnya juga banyak "berkolusi" dengan klub masing-masing di daerahnya sehingga conflict of interest antara pejabat PSSI dan klub terlihat jelas. Ketika acara Mata Najwa membuka topik pengaturan skor, baik pihak klub maupun pejabat di PSSI saling lempar dan bantah tudingan. Meskipun yang lebih terbukti adalah, beberapa pengurus di PSSI banyak kena kasus itu. Namun sesungguhnya konflik kepentingan yang terjadi adalah, manajemen klub ada yang terlibat di partai politik. Sedangkan pejabat institusi POLRI dan TNI pernah ada di pengurus PSSI, bahkan punya klub di Liga. Belum lagi pengurus klub ataupun PSSI ada koneksi dengan "bandar judi". Itu belum terungkap seluruhnya.
Hal tersebut semakin runyam dengan seringnya kerusuhan suporter. Akibatnya citra Liga Indonesia menjadi jelek. Ini tidak bagus buat PSSI yang sudah kena masalah konflik kepentingan organisasi sehingga PSSI sulit mendapatkan dana untuk membangun manajemen Liga dan skuad timnas. Sedangkan untuk klub, sangat susah mencari pendanaan lewat sponsor. Ingat, reputasi adalah hal utama dalam bisnis maupun organisasi. Sponsor tentu akan melihat sejauh mana kapasitas klub maupun federasi untuk mengambil keputusan apakah sponsor bersedia "berinvestasi" atau tidak.
Bersambung.....
Comments
Post a Comment