Pemahaman Gizi (1): Nilai Jual Pemain
Baru saja saya mengamati baik di media online tentang kondisi sepakbola Indonesia, begitupun juga saya juga ikut "main jari" di sosmed untuk diskusi mengenai topik yang sebetulnya pernah saya tulis di blog setengah tahun lalu. Juga ikut baca jurnal mengenai atlet sepakbola dan mengulik apa rahasia kesuksesan pembinaan atlet sepakbola negaranya. Ya, gizi salah satunya.

Episode 1, Nilai Jual Pemain. Kenapa Demikian?
Ya, karena nilai jual pemain ditentukan dari kinerja di klub. Apakah dilihat trofinya yang diperoleh, kualitas permainannya, atau katakan saja berapa gol (untuk striker) yang dicetak dan berapa saves dan cleansheet (untuk kiper). Jika seorang bek, berapa kali saves dan intercept yang sukses dilakukan untuk mencegah tim lawan cetak gol. Kalau pemain tersebut berposisi di midfield, bagaimana kinerja dia mengatur tempo permainan apakah sukses menghasilkan kemenangan atau setidaknya berapa assist (umumnya) yang diberikan ke striker meskipun semua pemain bisa memberikan assist untuk membantu temannya mencetak gol.
Naluri pemain sepakbola sendiri adalah mengkombinasikan skill individu dan konsep teamwork. Artinya bukan cuma dituntut membentuk otot ataupun memiliki bakat alamiah dalam seorang pemain, tetapi juga tuntutan kecerdasan pemain dalam membaca situasi di lapangan maupun menerjemahkan instruksi pelatih. Kecerdasan seseorang bisa dilihat dari pengalaman dan juga isi otak pemain. Sementara otak perlu asupan nutrisi dari makanan. Jenis makanan memiliki kandungan gizi tertentu yang menentukan berapa serapan nutrisi yang dibutuhkan dan dikeluarkan untuk beraktivitas. Faktor ajaran pelatih dan lingkungan juga menentukan keberhasilan seorang atlet sepakbola.
Jika performa pemain sepakbola baik, maka tentu ditunjang dengan pola latihan, makan dan istirahat yang baik. Artinya jelas akan meningkatkan nilai jual pemain. Maka sudah selayaknya pemain harus memposisikan diri sebagai aset, baik untuk klub ataupun tim nasional, bukan sebagai pekerja biasa. Cara pandang ini perlu ditanamkan. Orang pekerja kantoran, lapangan, atau tenaga pendidik seperti dosen saja perlu menjaga pola makan dan istirahat cukup agar kinerjanya bagus di pekerjaannya sehingga mendapatkan reward entah berupa kenaikan jabatan atau bonus gaji dll.
Indonesia yang kaya akan sumber daya alam tentunya menyediakan bahan makanan yang berlimpah, segar dan memiliki nutrisi yang cukup. Masalahnya mayoritas olahan makanan Indonesia cenderung tidak cocok untuk atlet karena makanan Indonesia kebanyakan representasi budaya, olah rasa, sejarah dan bertahan hidup. Bukan mendukung atlet. Di samping itu juga banyak pemain kurang suka dengan makanan atlet yang rasanya berbeda karena mungkin saja faktor kebiasaan dalam keluarganya. Karena itu untuk menyiasatinya, cobalah pemain sepakbola kita mengolah bahan makanan dari negeri sendiri menjadi makanan yang menunjang nutrisi baik untuk dirinya. Tidak harus mengikuti style western healthy food. Karena belum tentu cocok dari segi penyerapan nutrisinya untuk orang Indonesia. Tetapi dengan paling tidak mengubah cara pikir pola makan pemain kita agar tidak serampangan dalam makan, kita bisa sadar, bahwa pemain bola bukan sekedar buruh atau pekerja biasa, namun juga aset negara.
Jika performa pemain sepakbola baik, maka tentu ditunjang dengan pola latihan, makan dan istirahat yang baik. Artinya jelas akan meningkatkan nilai jual pemain. Maka sudah selayaknya pemain harus memposisikan diri sebagai aset, baik untuk klub ataupun tim nasional, bukan sebagai pekerja biasa. Cara pandang ini perlu ditanamkan. Orang pekerja kantoran, lapangan, atau tenaga pendidik seperti dosen saja perlu menjaga pola makan dan istirahat cukup agar kinerjanya bagus di pekerjaannya sehingga mendapatkan reward entah berupa kenaikan jabatan atau bonus gaji dll.

Indonesia yang kaya akan sumber daya alam tentunya menyediakan bahan makanan yang berlimpah, segar dan memiliki nutrisi yang cukup. Masalahnya mayoritas olahan makanan Indonesia cenderung tidak cocok untuk atlet karena makanan Indonesia kebanyakan representasi budaya, olah rasa, sejarah dan bertahan hidup. Bukan mendukung atlet. Di samping itu juga banyak pemain kurang suka dengan makanan atlet yang rasanya berbeda karena mungkin saja faktor kebiasaan dalam keluarganya. Karena itu untuk menyiasatinya, cobalah pemain sepakbola kita mengolah bahan makanan dari negeri sendiri menjadi makanan yang menunjang nutrisi baik untuk dirinya. Tidak harus mengikuti style western healthy food. Karena belum tentu cocok dari segi penyerapan nutrisinya untuk orang Indonesia. Tetapi dengan paling tidak mengubah cara pikir pola makan pemain kita agar tidak serampangan dalam makan, kita bisa sadar, bahwa pemain bola bukan sekedar buruh atau pekerja biasa, namun juga aset negara.
Comments
Post a Comment