Pemahaman Gizi (2): Nutrisionis dan Keilmuan
Dalam skala kampus atau perguruan tinggi, kewajiban kampus harus mendidik mahasiswa yang studi di program studinya bukan cuma sekadar teori saja, tetapi juga menuntut mahasiswanya untuk mempraktekkan apa yang sudah dipelajari. Keilmuan yang didapat jangan terlalu 100% menganut ke pola pikir ilmu ala Barat, namun juga pola pikir dan kebiasaan masyarakat Indonesia mengingat perbedaan cara tangkap dan pemahaman ilmu.
Akhir-akhir ini pesepakbola kita disorot mengenai pola makan "sembarangan". Ditambah instruksi pelatih timnas Indonesia, Shin Tae-Young (STY) untuk menghindari gorengan, makanan pedas dan berlemak membuat suporter terbelalak dan terbelah pola pikir kritisnya. Bahkan ada suporter yang "baper" begitu pemainnya di klub yang dipanggil timnas "terciduk" melakukan pelanggaran itu dan di-"bully" berjamaah. Pasalnya setiap kali ada masalah timnas yang "diserang" lebih dulu adalah federasi (PSSI), namun dengan viralnya beberapa pemain "melanggar instruksi" STY pasca TC timnas di media sosial pemain itu sendiri, suporter menjadi mulai kritis ke pemain juga. Ketika gagal, pemain bisa "ngeles" kami sudah berusaha. Sekarang, mayoritas suporter tidak mentolerir hal itu lagi. Ditambah mulai sadar ilmu akan pola makan sehat karena upaya menjaga daya tahan tubuh saat pandemi Covid-19 yang masih menggila hingga sekarang, rasanya pemain tidak bisa "ngeles" lagi.
Di liga-liga top Eropa dan pemain top seperti Cristiano Ronaldo maupun Lionel Messi sebagai contoh, mereka menyewa nutrisionis untuk menjaga kinerja mereka di lapangan agar prima dari segi fisik, skill oke dan tetap bugar main 90 menit di lapangan meskipun mulai termakan usia. Disinilah nutrisionis dibutuhkan. Untuk klub juara Liga Inggris musim ini, Liverpool, menurut pelatih Jurgen Klopp, semua stakeholder di klubnya berperan masif, termasuk peran nutrisionis yang menunjang fisik dan juga intelegensi pemain dalam pertandingan. Artinya nutrisionis di luar negeri sangat dihargai dari tingkat pekerjaan, bahkan dari tingkat awal masuk perkuliahan disana. Dan juga integritasnya teruji. Sangat beda jauh di Indonesia, dimana orang pintar dan cerdas disini dicampakkan. Mungkin juga karena orang pintar dan cerdas disini banyak yang integritasnya buruk. Belum lagi perilaku birokrat dan pemerintah yang juga sama buruknya.
Kembali lagi ke peran akademisi sebagai sumber keilmuan, lulusan ilmu bidang nutrisionis dan kesehatan di Indonesia masih kurang. Kalaupun mereka lulus, banyak yang tidak menerapkan ilmunya karena terapannya terlalu berat dari sisi ekonomi. Ada juga yang sudah menerapkan, namun ketika mensosialisasikan ke masyarakat yang kurang literasi mereka di-"sepele"-kan. Bisa karena sekolah ilmu kesehatan itu sangat mahal biayanya. Seharusnya sekolah ilmu kesehatan itu bisa disubsidi pemerintah. Dan juga pemerintah perlu perhatian ke lulusan ilmu kesehatan untuk diberikan beasiswa ke luar negeri khususnya bidang kesehatan dan gizi yang bisa diterapkan ke atlet sepakbola. Dari segi klub sepakbola, berikan keleluasaan untuk para nutrisionis untuk menerapkan ilmu guna membantu program pelatih agar kinerja pemain bisa lebih maksimal.
Comments
Post a Comment